Awal Agustus warga Desa Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku dihebohkan dengan kemunculan buaya yang berenang di Pantai Wayari. Bapak Amin Ahmadi (Kepala BKSDA Maluku) bersama tim meninjau beberapa titik di sekitar lokasi kemunculan buaya, guna mengumpulkan data lapangan dan informasi dari warga sekitar. Proses pemantauan buaya terus dilakukan oleh tim agar dapat segera ditranslokasikan ke habitat aslinya sehingga masyarakat tidak resah dan dapat beraktivitas seperti biasa di sekitar Pantai Wayari.
Penulis: BKSDA Maluku
BKSDA Maluku Rilis Burung Dilindungi Endemik Kepulauan Tanimbar Kembali ke Alam
Pada Jumat, 20 April 2018, Tim BKSDA Maluku dibawah pimpinan Kepala Seksi Konservasi Wilayah (SKW) III Saumlaki, Johan M. Nendissa, melepasliarkan secara bertahap 61 ekor burung Kakatua Tanimbar (Cacatua goffiniana) kembali ke habitatnya. Burung-burung tersebut sebelumnya diamankan dari warga di sekitar Kota Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat berawal dari informasi masyarakat. 7 ekor diamankan di Desa Sangliat Dol, 38 ekor di Desa Tumbur, dan 16 ekor di Desa Olilit.
Alasan utama penangkapan burung-burung ini oleh oknum masyarakat adalah predikat hama yang melekat pada Kakatua Goffin. Musim jagung yang sedang berlangsung di kepulauan Tanimbar membuat burung-burung ini mencari makan di kebun milik masyarakat. Anggapan yang memandang burung ini hama bagi tanaman tidak jarang membuat petani kebun memasang perangkap. Burung yang berhasil ditangkap tersebut dikumpulkan untuk dipelihara maupun dijual.
Petugas lalu mengirimkan burung-burung tersebut ke kandang habituasi di Desa Lorulun, Kecamatan Wer Tamrian, untuk diperiksa kesehatannya dan dilakukan persiapan penyesuaian untuk dirilis kembali ke alam. Kandang habituasi di Desa Lorulun ini merupakan kandang yang didirikan oleh para Peneliti Burung Kakatua Tanimbar dari University of Veterinary Medicine Vienna dan LIPI pada tahun 2016 lalu. Pemilihan pendirian kandang habituasi di daerah ini karena kondisi hutan yang dinilai cocok untuk melepasliarkan burung-burung Kakatua Tanimbar serta lokasi yang jauh dari kebun-kebun masyarakat.
Kegiatan pelepasliaran ini juga dibantu oleh Tri Haryoko, peneliti burung dari LIPI yang sedang melakukan penelitian di Kepulauan Tanimbar. Selain memeriksa kondisi burung yang masih liar, Tri Haryoko, juga memasangkan ring sebagai penanda untuk burung-burung yang akan dilepasliarkan. Tahap pertama, Jumat pagi, setengah dari burung Kakatua telah dilepasliarkan. Rencana keesokan harinya, sisa burung yang masih berada di kandang habituasi akan kembali dirilis ke alam.
Kakatua Tanimbar merupakan salah satu jenis burung yang masuk dalam lampiran Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan Dan Satwa, yang berisi daftar hewan dilindungi. Larangan memelihara, memiliki, dan memperjualbelikan satwa yang dilindungi diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Sanksi untuk setiap pelanggaran yaitu pidana maksimal lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Sementara untuk status perdagangan internasional masuk Appendix I Konvensi CITES, yang artinya tidak dapat diperdagangkan, hanya untuk kepentingan khusus seperti riset ilmiah. Selain itu satwa yang masuk ke dalam kategori ini adalah jenis yang terancam punah apabila praktik-praktik peredaran dan perdagangan secara ilegal tetap berlangsung dan tidak dihentikan. Status ini tidak lepas dari keberadaan Kakatua Goffin yang endemik, hanya ada di Pulau Yamdena dan pulau-pulau kecil sekitarnya.
Tindakan sosialisasi dan penyadartahuan bagi masyarakat khususnya di Kabupaten Maluku Tenggara Barat akan nilai penting konservasi dari Kakatua Tanimbar terus dilakukan oleh BKSDA Maluku. Belum lama ini juga terdapat perhatian yang tinggi dari LIPI terhadap spesies ini sehingga memberikan bantuan berupa banner berukuran besar yang berisi ajakan melindungi Kakatua Tanimbar yang akan dipasang di Bandara Saumlaki dan berukuran kecil yang diletakan ditempat-tempat strategis lainnya.
Laporkan pada Call Center BKSDA Maluku, jika Anda menemukan pelanggaran peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar ilegal maupun tindak pidana bidang kehutanan lainnya di 0852-4444-0772.
Salam Lestari! Salam Konservasi!
Balai KSDA Maluku
BKSDA Maluku Lepasliarkan Puluhan Burung Nuri dan Perkici Kembali ke Alam
Pada Jumat (13/4), sebanyak 78 ekor burung yang terdiri dari 67 ekor burung Nuri Maluku (Eos bornea) dan 11 ekor burung Perkici Pelangi (Trichoglossus haematodus) dilepasliarkan kembali ke habitatnya. Burung-burung ini merupakan hasil sitaan pada kegiatan operasi bersama antara Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Maluku dan Papua, Polsek KP3 Ambon, serta BKSDA Maluku di penampungan daerah Pelabuhan Slamet Riyadi, Ambon.
Satwa tersebut rencananya hendak diperdagangkan, namun karena tidak memiliki izin pengedar dari BKSDA Maluku maka burung-burung tersebut disita oleh tim operasi. “Para pedagang diberikan pembinaan dan membuat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya di masa mendatang,” terang Amin Ahmadi, Kepala BKSDA Maluku dalam siaran persnya.
Burung Nuri Maluku dan Perkici Pelangi sampai saat ini memang belum termasuk dalam satwa yang dilindungi Undang-Undang. Namun, dalam perdagangan secara resmi tetap diatur dengan pemberlakuan Kuota. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga keberadaan dan populasinya di alam, apalagi untuk jenis Nuri Maluku yang memang burung endemik dari Kepulauan Maluku.
Untuk tahun 2018, BKSDA Maluku memiliki kuota untuk diperdagangkan jenis Nuri Maluku sebanyak 626 ekor dan Perkici Pelangi sebanyak 916 ekor. “Hal ini untuk memfasilitasi masyarakat yang hobi memelihara burung agar sesuai dengan peraturan,” lanjut Amin. Sehingga untuk para pengedar terlebih dahulu mengurus ijin peredaran sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku sebelum memperjual-belikannya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf m, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa kita dilarang untuk mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi Undang-Undang yang berasal dari dalam kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. Bilamana kita melanggarnya maka sesuai Pasal 78 ayat (12) dapat dipidana penjara 1 tahun dan denda Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Pasca penyitaan, burung tidak langsung dilepasliarkan karena adanya getah atau lem yang menempel pada bulu-bulunya saat ditangkap di alam. Butuh waktu 40 hari untuk proses rehabilitasi di kandang transit milik BKSDA Maluku. Setelah melalui pemeriksaan dari dokter hewan Balai Karantina Pertanian Ambon, serta burung dalam kondisi sehat dan siap untuk dilepasliarkan kembali ke habitatnya.
Burung-burung ini dilepasliarkan di hutan Dusun Masihulan, Desa Sawai, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah. Dipilihnya tempat ini dikarenakan lokasi tersebut berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional (TN) Manusela yang merupakan habitat burung Nuri Maluku dan Perkici Pelangi. Diharapkan agar burung burung tersebut dapat segera beradaptasi dan hidup liar sesuai dengan nalurinya.
Sumber: Rifky Firmana P. (BKSDA Maluku)
Balai KSDA Maluku Gandeng Masyarakat Kembangkan Wisata TWA Pulau Pombo
(Ambon, 26 Maret 2018). Balai Dusun Wainuru menjadi tempat Sosialisasi Pembentukan Kelembagaan Desa Penyangga Kawasan Konservasi (24/3/18). Sosialisasi ini menjadi pondasi bagi kedua pihak, Balai KSDA Maluku dan masyarakat Dusun Wainuru, yang nantinya secara bersama mengembangkan potensi wisata di TWAL Pulau Pombo secara optimal.
Secara singkat hasil identifikasi dan pengkajian permasalahan di Dusun Wainuru yang telah dilaksanakan sebulan sebelumnya dipaparkan. Dalam diskusi dengan masyarakat, tim Balai KSDA Maluku mengharapkan segenap masyarakat bersiap secara bersama-sama mengembangkan potensi desa guna menunjang kegiatan wisata alam. Salah satunya dengan pembentukan kelompok sadar wisata di Dusun Wainuru. Kelompok ini nantinya dapat mengelola transportasi laut untuk mengantarkan pengunjung menuju Pulau Pombo.
Masyarakat Dusun Wainuru sebagian besar mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan. Mereka telah memiliki longboat maupun ketinting (motor laut) untuk mencari ikan. Dengan sumber daya yang dimiliki ini, diharapakan nantinya masyarakat mempunyai pekerjaan alternatif menjadi pengantar sekaligus pemandu bagi wisatawan yang hendak mengunjungi Pulau Pombo. Sedangkan dari pihak masyarakat Wainuru sendiri sangat berharap Balai KSDA Maluku dapat memberikan support penuh bagi mereka. Utamanya dalam proses pendampingan dan pemberdayaan kelompok kedepannya. Mereka berharap kelompok yang akan dibentuk menjadi sarana pengembangan informasi dan meningkatan kemampuan anggotanya dalam pengelolaan wisata alam.
Pulau Pombo adalah satu dari 4 kawasan Taman Wisata Alam/Laut (TWA/L) yang pengelolaannya berada di bawah Balai KSDA Maluku. Pulau Pombo mempunyai keunggulan karena lokasinya relatif dekat dari kota Ambon. Untuk mencapai kawasan ini butuh waktu sekitar 30 menit menuju Dusun Wainuru, perkampungan masyarakat yang letaknya paling dekat dari Pulau Pombo. Dari Dusun Wainuru, kita dapat menyewa longboat masyarakat untuk menyeberang ke Pulau Pombo. Dibutuhkan waktu sekitar 15-20 menit untuk sampai di Pulau Pombo.
Di area TWA Pulau Pombo kita dapat menikmati pesona birunya air laut dan indahnya pasir putih yang mengelilingi pulau yang luasnya tidak lebih dari 2 hektar ini. Kegiatan lain yang dapat dilakukan adalah menikmati keindahan bawah laut, bisa dengan aktivitas snorkeling maupun diving. Dengan potensi yang dimiliki tentu pengelolaan yang optimal perlu dilakukan diantaranya dengan menggandeng masyarakat sekitar dalam pengelolaan kolaboratif TWAL Pulau Pombo.
Sumber: Rifky Firmana P. – Balai KSDA Maluku
Konsultasi Publik Penataan Blok 3 Cagar Alam di Propinsi Maluku Utara
(Kepulauan Sula, 19 Maret 2018). Bertempat di Aula Rapat Hotel Beliga, Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara diselenggarakan Konsultasi Publik pembahasan draft penataan blok kawasan KPHK Taliabu. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor. SK.730/Menlhk/Serjen/PLA.0/9/2016 menetapkan KPHK Taliabu yang merupakan gabungan dari 3 kawasan konservasi, yaitu: CA. Pulau Lifamatola di Kab. Kepulauan Sula, serta CA. Pulau Taliabu dan CA. Pulau Seho di Kab. Pulau Taliabu yang adalah kabupaten baru pemekaran dari Kab. Kepulauan Sula.
Acara yang dilaksanakan pada hari Senin, 19 Maret 2018 ini dihadiri dan dibuka oleh Bupati Kab. Kepulauan Sula, Hendrata Thes. Selain itu kegiatan ini juga dihadiri oleh beberapa undangan dari SKPD terkait, diantaranya: Bappeda, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Pertanian, Kesbangpol, Dinas Pariwisata, dan KPHP Kepulauan Sula.
Dalam sambutannya, Bupati sangat mengapresiasi diadakannya kegiatan konsultasi publik ini. Dia memerintahkan seluruh SKPD untuk berpartisipasi aktif untuk menyempurnakan draft dokumen penataan blok KPHK Taliabu.
Hendrata juga menghimbau kepada seluruh elemen baik masyarakat dan pemerintah daerah untuk tetap terus menjaga kelestarian kawasan konservasi di Kab. Kepulauan Sula. “Kawasan Konservasi itu memiliki manfaat yang besar untuk masyarakat,” tegas beliau.
Kedepannya, Hendrata berharap untuk terjalinnya koordinasi yang baik antara BKSDA Maluku dan pihak terkait di Pemerintah Daerah dalam kegiatan-kegiatan selanjutnya.
Dalam kegiatan konsultasi publik ini dipaparkan rencana penataan blok ketiga kawasan konservasi dengan status cagar alam tersebut. CA. Pulau Lifamatola mempunyai luas 1.690,53 Ha, CA. Pulau Taliabu seluas 9.743 Ha, dan CA. Pulau Seho dengan luas 1.250 Ha.
Dalam sesi diskusi terdapat beberapa poin penting yang turut dibahas. Hal ini terkait dengan akses masyarakat ke dalam kawasan. Draft penataan blok kawasan diharapkan memperhatikan keberadaan masyarakat setempat yang pola kehidupan dan penghidupannya bergantung secara langsung pada sumber daya alam yang berada di dalam kawasan.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah permasalahan pendudukan kawasan yang bersifat destruktif oleh individu maupun pihak swasta. Penegakan hukum harus dilakukan dengan tegas selain sebelumnya diberikan tindakan peringatan dan pembinaan.
Sumber: Balai KSDA Maluku
Diskusi Minggu Pagi BKSDA Maluku dan Kelompok Pecinta Alam
(Ambon, 18 Maret 2018). Kepala Balai KSDA Maluku, Amin Ahmadi, menghadiri undangan dari Kelompok Pecinta Alam Hila-Halawang (KPA Palahi Halawang) dalam rangka pelantikan pengurus baru masa bakti 2017-2019 (18/3/18). Kegiatan ini juga menjadi ajang diskusi serta rapat penyusunan program kerja KPA Palahi Halawang.
Kepala Balai KSDA Maluku menyampaikan bahwa organisasi pecinta alam dewasa ini harus dapat bersinergi dengan multi stakeholder. Sinergitas itu dapat dimulai dari kerjasama dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di daerahnya.
Kegiatan-kegiatan pelestarian lingkungan seperti penghijauan maupun penanaman pohon pasti akan didukung penuh oleh UPT KLHK. Ada beberapa UPT di propinsi Maluku dengan tupoksinya masing-masing yang dapat diajak bersama-sama dalam kegiatan melestarikan lingkungan.
Selain itu Amin Ahmadi juga berpesan, sebagai anggota KPA untuk dapat mengimplementasikan setiap tindakannya dengan semangat cinta lingkungan. “Setiap anggota harus mencerminkan sikap mencintai alam dan lingkungan dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga masyarakat mendapat contoh yang baik bukan sebaliknya,” tambahnya.
Sumber: Rifky Firmana P. – Penyuluh Balai KSDA Maluku Continue reading “Diskusi Minggu Pagi BKSDA Maluku dan Kelompok Pecinta Alam”
Akankah Penyu Ada Terus di Pulau Buru?
(Namlea, 07/03/2018). BKSDA Maluku bekerjasama dengan WWF-Indonesia, Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong, dan Dinas Perikanan Kabupaten Buru mengadakan sosialisasi perlindungan Penyu yang bertempat di Waspait Buru Resort, Kecamatan Fena Leisela pada tanggal 6 Maret 2018. Kegiatan yang digagas oleh WWF-Indonesia (Inner Banda Arc Subseascape) berawal dari kegiatan kajian tempat pendaratan dan peneluran penyu Belimbing yang memiliki nama ilmiah Dermochelys coriacea ini, yang mulai dilakukan pada awal tahun 2017. Sepanjang tahun 2017 sampai dengan awal tahun 2018 telah berhasil dicatat kehadiran penyu di tempat ini yang didominasi oleh penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) dan Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), setidaknya tercatat lebih dari 400 lokasi sarang penyu Belimbing selama kurun waktu setahun.
Kegiatan sosialisasi dihadiri oleh berbagai instansi/stakeholders yang memiliki kewenangan dan kepentingan dengan lokasi peneluran penyu di pesisir Utara pulau Buru ini. Antusiasme kegiatan sosialisasi ini ditandai dengan jumlah peserta yang hadir sebanyak 79 orang, yang terdiri dari aparat desa dan perangkat adat beserta perwakilan masyarakat dari Desa Waenibe, desa Wamlana, desa Waekose, dan desa Waspait. Turut hadir juga dalam acara ini Wakil Raja Negeri Fena Leisela, Camat Fena Leisela, Babinsa dari Koramil Air Buaya, dan Babinsa dari Polsek Air Buaya Kabupaten Buru.
Tiga desa yang dianggap penting sebagai tempat pendaratan penyu Belimbing yang ada di pesisir Utara pulau Buru ini adalah : desa Wainibe, desa Waspait, dan desa Wamlana. Ketiga desa ini dianggap penting karena lokasi pantai peneluran penyu Belimbing untuk wilayah Republik Indonesia tidaklah banyak, bahkan dapat dihitung dengan jari, dan pesisir Utara Pulau Buru merupakan salah satu daerah yang terdapat lokasi peneluran penyu jenis ini.
Dalam paparannya, kepala BKSDA Maluku, Mukhtar Amin Ahmadi menyampaikan bahwa peran serta aktif masyarakat sangat dibutuhkan untuk bisa ikut serta dalam program perlindungan penyu yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 5 tahun 1990, “ keterlibatan dan peran serta aktif dari masyarakat ketiga desa ini sangat dibutuhkan ditengah keterbatasan jumlah personil yang ada di BKSDA Maluku” imbuhnya. Penyadartahuan masyarakat terkait status perlindungan dan keterancaman penyu Belimbing merupakan aspek yang sangat ditekankan di sini. Beliau menambahkan pendekatan persuasif lebih diutamakan dalam perlindungan penyu meskipun membutuhkan waktu yang panjang dan dialog yang berkesinambungan antara aparat pemerintah yang berwenang dengan masyarakat.
Selain paparan dari kepala BKSDA Maluku, kegiatan sosialisasi ini juga menghadirkan narasumber dari LPSPL Sorong : Wiwit Handayani, S.Pi, dan Drh. Dwi Suprapti (Marine Spesices Conservation Coordinator, WWF-Indonesia) yang membahas penyu khususnya untuk jenis penyu belimbing dari aspek ekologi dan fisiologi, juga terkait kondisi terkini penyu Belimbing.
Berdasarkan paparan materi yang disampaikan oleh Drh. Dwi Suprapti, WWF-Indonesia bekerjasama dengan NOAA (Lembaga Penelitian Pemerintah Amerika Serikat) rencananya akan memasang sebanyak 7 unit Satelit Telemetri terhadap penyu Belimbing yang mendarat di pantai peneluran di Utara pulau Buru untuk bisa mempelajari perilaku penyu jenis ini lebih mendalam demi kepentingan pelestariannya. “ Selain itu, pihak WWF-Indonesia bekerjasama dengan NOAA dan BKSDA Maluku juga akan melakukan pengambilan sampel DNA penyu belimbing dengan target sebanyak 100 individu yang akan dilakukan secara marathon sampai dengan awal tahun 2019”, tambah wanita yang berasal dari Kalimantan Barat ini. Kajian yang dilakukan oleh WWF-Indonesia sepanjang tahun 2017 ini mengungkapkan bahwa Penyu Belimbing menyukai pesisir Utara pulau Buru ini (yang mencakup 3 desa : Wamlana, Waspait, dan Waenibe) sebagai tempat bertelur. Hanya saja tingkat keberhasilan sarang penyu sampai dengan menetas hanya sebesar 20%. Beberapa hal yang menjadi faktor utama penyebab kecilnya tingkat keberhasilan sarang sampai dengan telur penyu menetas adalah : kegiatan pengambilan telur oleh masyarakat, serta adanya predator alami seperti buaya muara, babi hutan, dan anjing. Oleh karenanya, Sosialisasi perlindungan penyu yang dilakukan oleh BKSDA Maluku bekerjasama dengan WWF-Indonesia dan LPSPL Sorong, Kementerian Kelautan dan Perikanan dianggap sangat perlu untuk dilakukan agar dapat mensukseskan keberhasilan program perlindungan penyu yang melibatkan partisipasi aktif oleh masyarakat di sekitar pantai peneluran.
Berdasarkan hasil focus group discussion (FGD) yang dilakukan pada bagian akhir sosialisasi, dirumuskan sebanyak 10 rencana aksi yang jika dirangkum merupakan rencana aksi yang harus dilakukan untuk perlindungan penyu secara umum, mulai dari mendorong penerbitan peraturan desa dan peraturan daerah (Perda), pembentukan kelompok masyarakat pengawas penyu, relokasi sarang penyu agar tidak dirusak oleh predator, sampai dengan penegakan hukum oleh instansi berwenang agar muncul kesadaran masyarakat sadar akan pentingnya keberadaan penyu.
Penyu merupakan salah satu satwa dari beberapa jenis satwa zaman purba yang masih tersisa saat ini di muka bumi. Penyu Belimbing adalah salah satu dari 6 jenis penyu yang terdapat di Indonesia dan dilindungi oleh Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (terdapat hanya 7 jenis penyu yang ada di dunia). Penyu jenis ini merupakan penyu dengan ukuran terbesar dibandingkan dengan kerabatnya yang lain. Berdasarkan data yang dihimpun oleh pihak WWF-Indonesia, pesisir Utara pulau Buru merupakan salah satu pantai favorit di provinsi Maluku yang banyak disinggahi oleh jenis Penyu Belimbing untuk bertelur, dan menariknya penyu yang bertelur disini mencari makan sampai ke daerah kepala burung Papua, bahkan berdasarkan data satelit telemetri penyu yang mendarat untuk bertelur di pulau Buru ini mencari makan sampai ke daerah pesisir Hawai, Amerika Serikat.
Mengacu pada peraturan pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan tumbuhan dan satwa yang merupakan turunan dari undang-undang No. 5 tahun 1990, 6 jenis penyu yang ada di Indonesia termasuk dalam status dilindungi undang-undang. Sedangkan berdasarkan perjanjian internasional tentang perdagangan tumbuhan dan satwa yang terancam punah atau yang lebih dikenal dengan CITES , semua jenis penyu yang ada di Indonesia termasuk dalam appendix 1 CITES, yang bermakna bahwa segala bentuk perdagangan di dunia internasional untuk jenis penyu dan bagian tubuhnya atau produk turunannya seperti telur penyu secara tegas dilarang. Sebagai tambahan, penyu Belimbing juga termasuk dalam daftar merah/Red List lembaga konservasi internasional (IUCN) dengan status Vulnerable (Rawan untuk terancam punah) setelah sebelumnya pernah mengalami penurunan populasi yang cukup drastis.
-Admin-
BKSDA Maluku Marathon Pembahasan Blok Pengelolaan Tiga Cagar Alam di Kabupaten MTB
(Saumlaki, 28 Februari 2018). BKSDA Maluku gelar rapat konsultasi publik usulan blok pengelolaan tiga kawasan cagar alam yang terletak di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) yaitu Cagar Alam (CA) Pulau Angwarmase, Pulau Nustaram, dan Pulau Nuswotar. Sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seperti Bappeda, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian, Dinas Pariwisata, Dinas Perikanan, dan Kesatuan Pemangku Hutan Produksi (KPHP) Saumlaki menghadiri acara yang bertempat di Ruang Rapat Hotel Beringin Dua, Saumlaki pada hari Selasa (27/2).
Bukan tanpa alasan konsultasi publik tiga kawasan ini dilaksanakan berbarengan. Selain memiliki fungsi yang sama yaitu cagar alam dan berada di kabupaten yang sama, ketiga kawasan tersebut juga ditunjuk dan ditetapkan melalui satu surat keputusan yang sama. Penunjukkan Pulau Angwarmase, Nustaram, dan Nuswotar menjadi kawasan konservasi melalui SK. Mentan No. 609/Kpts/Um/10/1978. Sedangkan untuk penetapannya melalui SK. Menhut No. 403/Kpts-II/1988.
Seluruh SKPD yang hadir tampak memberikan dukungan penuh pada acara ini. Hal tersebut terlihat dari masukan yang diberikan masing-masing SKPD. “Pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten MTB tidak dapat dilakukan sendirian oleh BKSDA Maluku, akan tetapi harus dilakukan secara sinergi dan didukung oleh semua pihak, terutama dalam hal yang berkaitan masyarakat sekitar,” tegas Alowesius Batkormbawa, Kepala Bappeda Kabupaten MTB dalam arahannya.
Selain itu, Alowesius, mengatakan bahwa BKSDA Maluku juga perlu mempertimbangkan keberadaan masyarakat sekitar yang seringkali melakukan aktivitas di dalam kawasan konservasi sebagai mata pencaharian mereka. Kepala BKSDA Maluku, Mukhtar Amin Ahmadi menjelaskan bahwa dalam cagar alam terdapat blok perlindungan dan blok lainnya yang terdiri dari blok religi, sejarah, dan budaya; blok rehabilitasi; dan blok khusus. “Kebun masyarakat yang telah ada sebelum penetapan kawasan akan masuk dalam blok khusus, dengan catatan tidak boleh bertambah luasannya,” lanjutnya.
Senada dengan Kepala BKSDA, Sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten MTB, Yusuf Refialy, mengatakan pihaknya akan mengupayakan sosialisasi serta inovasi pertanian agar masyarakat tidak melakukan perladangan berpindah. Dia berharap, kedepannya terjadi sinergitas antara BKSDA dan Dinas Pertanian Kab. MTB dalam melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi.
Masukan lain datang dari Visensus Fenanlanipir, Kepala Bidang Destinasi Pariwisata Dinas Pariwisata Kabupaten MTB. Visensus mengatakan bahwa di salah satu cagar alam, yakni CA Pulau Angwarmase, terdapat potensi pariwisata alam yang besar. Kepala BKSDA Maluku menegaskan bahwa untuk melakukan wisata di dalam kawasan, perlu dilakukan evaluasi kesesuaian fungsi kawasan konserversi. “Mungkin berbenturan dengan fungsi kawasan, namun keberadaan potensi wisata yang berada di luar kawasan tentu dapat dikembangkan dengan optimal,” jelasnya.
Setelah melalui musyawarah, seluruh peserta yang hadir sepakat untuk menyetujui blok pengelolaan yang diusulkan BKSDA Maluku tersebut, serta merekomendasikan BKSDA Maluku untuk segera mengusulkan pengesahan blok tersebut. Diakhir acara, perwakilan SKPD yang hadir menandatangani berita acara konsultasi publik usulan blok pengelolaan CA Pulau Angwarmase, CA Pulau Nustaram, dan CA Pulau Nuswotar. []
Sumber: Ayu Diyah Setiyani – Balai KSDA Maluku
Tim Peneliti Gabungan bersama BKSDA Maluku Berhasil Tandai Dara Laut Jambul
Ambon (14/02/2018), Setelah selama tujuh hari di lapangan, sejak 7 hingga 13 Februari 2018, tim peneliti yang terdiri dari Burung Indonesia; Indonesia Bird Banding Scheme (IBBS); BirdLife Internasional; Hongkong Bird Watching Society; Oregon University; Hongkong University; BKSDA Maluku; TN Manusela; dan Universitas Pattimura telah berhasil menandai Dara Laut Jambul (Sterna bergii). Dalam presentasi hasil pemetaan dan penandaan yang telah dilakukan di Ruang Rapat BKSDA Maluku, Ferry Hasudungan, Biodiversity Conservation Specialist Burung Indonesia, mengatakan “secara keseluruhan operasi penandaan kami berhasil 95%, namun sisanya adalah Dara Laut Cina belum tertangkap.
Selama pengamatan, terlihat satu ekor Dara Laut Cina diantara ratusan Dara Laut Jambul. Akan tetapi, Dara Laut Cina tersebut belum berhasil ditangkap dan ditandai. Tim peneliti berhasil menangkap Dara Laut Jambul sebanyak 7 ekor dan 3 diantaranya dipasangi sattelite tag. “Kami berhasil menandai tujuh burung dara-laut jambul. Ini capaian luar biasa, karena ini merupakan pemasangan satelit tag pertama untuk burung laut di Indonesia. Harapannya kita bisa melihat kemana saja burung ini bermigrasi, khususnya di wilayah Indonesia hingga dapat melihat lokasi laut yang penting untuk dara laut cina.” Dalam presentasinya, Simba Chan, Senior conservation Officer-Tokyo Birdlife International, mengatakan “penandaan Dara Laut Jambul dengan sattelit diasumsikan dapat menggambarkan pola migrasi Dara Laut Cina.
Seluruh Dara Laut Jambul yang tertangkap dipasangi tanda berupa pita plastik berwarna oranye dengan kode tertentu.Pemasangan pita tersebut di bawah pengawasan IBBS. Selain itu, semua burung yang tertangkap dipasangi cincin logam permanen yang berisi kode internasional tersendiri pada kaki burung tersebut. Dara Laut Jambul dengan sattelite tag akan dipantau setiap hari selama durasi umur sattelite tag tersebut. Sattelite tag tersebut dapat berfungsi optimal sekitar 12 hingga 18 bulan.
Dara Laut Cina sendiri berkembang biak di Cina, akan tetapi pada musim dingin, Dara Laut Cina bermigrasi ke area yang lebih hangat seperti Indonesia bersama-sama dengan Dara Laut jambul (Sterna bergii). Menurut International Union for Conservation of Nature IUCN, status konservasi Dara Laut Cina tersebut yaitu critically endangered/CR atau kritis. Diperkirakan jumlahnya di dunia kurang dari 100 ekor. Selain itu Dara Laut Cina juga dilindungi oleh Pemerintah Indonesia melalui PP Nomor 7 Tahun 1999.
Dalam presentasi yang juga diikuti oleh tim peneliti, staff teknis BKSDA Maluku, Universitas Pattimura, dan Universitas Darrusalam tersebut, Kepala BKSDA Maluku menyampaikan bahwa hasil dari penandaan tersebut dapat menjadi masukan bagi BKSDA Maluku selaku management authority. “Jika kita bisa mengetahui pola migrasi Dara Laut Cina terutama di Indonesia, kita dapat menyusun rencana aksi dalam upaya konservasi ke depan,” tegas Kepala Balai KSDA Maluku. []
Sumber: Ayu Diyah Setiyani (Penyuluh BKSDA Maluku)
Hasil Seleksi Administrasi Lowongan Tenaga IT/Programmer BKSDA Maluku
(Ambon, 13/02/2018). BKSDA Maluku mengumumkan sebanyak 26 pelamar sebagai peserta yang lulus tahap administrasi untuk mengisi posisi tenaga kontrak IT/Programmer (dari jumlah keseluruhan peserta yang mendaftar sebanyak 30 orang dalam kurun waktu antara 29 Januari s/d 10 Februari 2018). Keempat peserta yang dinyatakan gugur secara administrasi, dianggap tidak memenuhi syarat kualifikasi pendidikan formal yang dibutuhkan.
Tahap selanjutnya, dari 26 kandidat yang dinyatakan lulus secara administrasi diwajibkan untuk mengikuti seleksi tahap II berupa pembuatan website responsif. Persyaratan lebih lanjut mengenai persyaratan pembuatan website responsif ini dapat dilihat pada tautan di bawah. Pada seleksi tahap II ini akan dipilih sebanyak 5 kandidat terbaik yang selanjutnya akan mengikuti seleksi tahap akhir yaitu wawancara.
Daftar kandidat tenaga IT/Programmer BKSDA Maluku yang lolos seleksi administrasi dapat dilihat pada tautan berikut :
https://drive.google.com/open?id=1kUu4o_6_fKJGuRK5L3HE8WhHEJNF5mBV
-Admin-