Bangkai Duyung Seberat 200 Kg Terdampar di Pulau Buano

Bangkai duyung seberat 200 kg yang ditemukan di Pantai Buano Selatan, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku, dimakamkan warga setempat, Senin (17/9/2018).(KOMPAS.com/Rahmat Rahman Patty)

AMBON, KOMPAS.com – Seekor duyung berbobot 200 kilogram (kg) ditemukan terdampar di pesisir pantai Pulau Buano, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku.

Hewan mamalia dengan nama latin Halicora Dugong itu ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa di perairan Buano Selatan oleh seorang warga bernama Fredi Pesirahu dan istrinya, Senin (17/9/2018). Said Mahu Palirone, salah satu warga setempat mengaku, hewan mamalia itu ditemukan terdampar sekitar pukul 09.15 WIT.

Warga yang mengetahui penemuan itu kemudian beramai-ramai mengangkat bangkai duyung tersebut. Baca juga: Seekor Duyung Ditemukan Mati di Perairan Rupat Utara, Riau “Saat ditemukan sudah mati dan mengembang di atas air laut, kemudian warga datang mengangkatnya,” tutur Said, Selasa (18/9/2018).

Setelah dievakuasi dari pantai, penemuan bangkai duyung tersebut kemudian dilaporkan kepada pemerintah desa setempat dan Dinas Perikanan Kabupaten Seram Bagian Barat, serta petugas Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku yang ada di Piru. “Langsung diukur dan berat bangkai duyung itu 200 kg serta panjang 234 centimeter,” ujarnya. Kepala BKSDA Maluku, Mukhtar Amin Ahmadi membenarkan penemuan bangkai duyung tersebut.

Menurut dia, duyung yang ditemukan berjenis kelamin betina dan memiliki bobot 200 kg, panjang 234 centimeter serta lebar 60 centimeter. Baca juga: Kisah Kakek Murah, Mantan Pemburu Ikan Duyung “Selain melakukan pengukuran morfometrik, tim WWF Ambon dibantu staf LPPM Maluku juga mengambil beberapa sampel dugong pada bagian perut dan punggung,” tuturnya. Dia menjelaskan, dari hasil pengamatan tim, duyung yang terdampar tersebut memiliki penyakit kulit seperti jamur pada bagian punggungnya. Hewan mamalia itu juga mengalami luka di tubuhnya.

Sumber : Kompas.com

Seluruh Jenis Burung Paruh Bengkok di Wallacea Kini Berstatus Dilindungi

Kasturi Ternate (Lorius garrulus) dikategorikan rentan (Vulnerable) oleh IUCN akibat menurunnya populasi.

Organisasi Burung Indonesia menilai Pemberlakuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) nomor 20 Tahun 2018 sangat berpengaruh pada upaya konservasi burung paruh bengkok di Wallacea yang kini masuk dalam jenis dilindungi. Peraturan itu menjadi langkah besar untuk menekan ancaman terhadap berbagai jenis burung paruh bengkok di Wallacea yang terancam oleh upaya perburuan dan perdagangan ilegal.

Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia atau Burung Indonesia sebuah organisasi konservasi nasional yang didirikan pada 2002 untuk melestarikan burung-burung liar di Indonesia dan habitatnya, menilai pemberlakuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) nomor 20 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi sangat berpengaruh bagi upaya konservasi khususnya bagi Satwa Burung di Indonesia.

Peraturan itu menggantikan lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis Tumbuhan dan Satwa yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Jihad, Biodiversity Mainstreaming Officer Burung Indonesia, kepada VOA mengatakan peraturan baru itu itu telah memasukkan semua jenis burung paruh bengkok di kawasan Wallacea sebagai satwa yang dilindungi. Di antaranya adalah Kakatua Putih dan Kasturi Ternate, burung endemik di Maluku Utara yang populasinya menurun drastis karena perburuan dan perdagangan ilegal.

Kakatua Putih (cacatua alba) dikategorikan rentan (Vulnerable) oleh IUCN akibat menurunnya populasi.

“Berdasarkan hasil survei Burung Indonesia di Halmahera sendiri, Kakatua Putih populasinya hanya berkisar antara 8.630 sampai dengan 48.000 yang mana jumlah ini jauh berkurang dibandingkan hasil survey tahun 1991-1992 dengan populasi Kakatua Putih masih berkisar di angka 43.000 sampai 183.000 di alam,” ungkap Jihad.

Berdasarkan lampiran dalam peraturan tersebut, burung adalah jenis satwa yang paling banyak masuk dalam daftar dilindungi. Sebanyak 562 jenis burung masuk dalam daftar tersebut atau sekitar 31,73% dari total 1771 jenis burung yang ada di Indonesia—dalam daftar jenis sebelumnya hanya 437 jenis burung saja yang berstatus dilindungi. Selain itu, sebanyak 27 jenis atau 98% dari total 28 jenis burung di Indonesia yang berstatus kritis berdasarkan Daftar Merah IUCN telah masuk juga ke dalam daftar tersebut—dalam daftar sebelumnya hanya mengakomodir 64% burung berstatus kritis.

“Keluarnya Permen ini akan sangat berpengaruh signifikan terhadap upaya konservasi jenis-jenis burung Indonesia terutama bagi banyak jenis burung yang endemik dan terancam punah begitu, karena memang daftar ini di Permen ini daftar jenis burung itu, total sekarang ada 562,” tambahnya.

Jihad menambahkan Peraturan ini telah mencakup jenis-jenis burung yang saat ini mengalami tren penurunan populasi di alam yang sangat cepat, seperti yang terjadi pada semua jenis burung cica-daun dan beberapa jenis burung kacamata akibat banyak diperdagangkan. Sedangkan pada lampiran peraturan sebelumnya, sebagian jenis sudah tidak mencerminkan perkembangan terbaru segi populasi, ancaman, maupun perkembangan ilmu pengetahuan.

Secara terpisah Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Maluku, Mukhtar Amin Ahmadi mengakui sepanjang tahun ini pihaknya berhasil mengungkap 38 kasus perburuan dan perdagangan ilegal terhadap satwa yang dilindungi termasuk diantaranya Burung Kakatua Putih dan Kasturi Ternate. Dari kasus yang pernah terungkap, diketahui perdagangan satwa burung endemik Maluku Utara tersebut juga ada yang diselundupkan ke luar wilayah Indonesia.

“Kalau yang perdagangannya keluar Indonesia ke Filipina biasanya melalui Halmahera Utara kemudian singgah di Bitung dan dari Bitung biasanya melalui nelayan-nelayan tradisional diselundupkan ke Filipina itu utamanya,” ujar Mukhtar.

Mukhtar Amin Ahmadi mengakui dengan wilayah kerja yang meliputi Provinsi Maluku dan Maluku Utara, pihaknya mengalami keterbatasan petugas untuk pengawasan titik-titik rawan yang dapat menjadi pintu keluar perdagangan satwa.

“Kita sudah hitung ya ada 65 titik yang harus dijaga sebenarnya. Pelabuhan ada 45 titik yang besar-besar. Kemudian bandara ada 24 di Maluku dan Maluku Utara, ada 9 titik rawan yang harus kita jaga. Petugas sendiri untuk Polisi kehutanan hanya ada 27 Pak, PEH (Pengendali Ekosistem Hutan) hanya 5 orang, Penyuluh hanya 4 orang. Sehingga sangat-sangat terbatas sekali. Jadi jumlah yang ada dari office boy sampai Kepala Balai termasuk urusan administrasi ini hanya 78 orang, padahal wilayah kerja sangat luas. Kawasan kita ada 29 kawasan konservasi, cagar alam, Taman Wisata Alam dan Suaka Marga Satwa,” imbuh Mukhtar.

Dengan keterbatasan tersebut, BKSDA Maluku juga berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga dapat turut serta melakukan pengawasan serta perlindungan terhadap satwa dan tumbuhan yang dilindungi baik di dalam maupun diluar kawasan konservasi. [yl/em]

Wallacea adalah kawasan biogeografis yang mencakup sekelompok pulau-pulau dan kepulauan di wilayah Indonesia bagian tengah, terpisah dari paparan benua-benua Asia dan Australia oleh selat-selat yang dalam. (Foto: Wikipedia)
Wallacea adalah kawasan biogeografis yang mencakup sekelompok pulau-pulau dan kepulauan di wilayah Indonesia bagian tengah, terpisah dari paparan benua-benua Asia dan Australia oleh selat-selat yang dalam. (Foto: Wikipedia)

 

Sumber : VOA INDONESIA

Kepala BKSDA Maluku Ajak Warga Lindungi Satwa

Ambon, 14/8 (Antaranews Maluku) – Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku Mukhtar Amin Ahmadi mengajak warga untuk melindungi satwa yang dilindungi.

“Kami mengimbau warga untuk tidak menangkap, memelihara, memperjualbelikan satwa liar yang dilindungi, karena perbuatan tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,” katanya di Ambon, Selasa.

Menurut dia, perbuatan memperjualbelikan satwa merupakan tindak pidana dengan ancaman penjara lima tahun dan denda Rp100 juta.

Informasi yang diterima Ditreskrimsus Polda Maluku berkoordinasi dengan Polres Kepulauan Aru berhasil menggagalkan upaya penjualan puluhan ekor burung cendrawasih yang telah diawetkan dan meringkus tiga orang tersangka.

Penangkapan para pelaku bermula dari adanya postingan di akun facebook yang menawarkan penjualan burung cendrawasih diawetkan dengan corak warna dominannya coklat dan kuning.

“Tindakan tersebut tentu sangat mengganggu ekosistem satwa yang dilindungi, karena itu kami berharap perbuatan tersebut dapat ditindak sesuai aturan yang berlaku, agar ada efek jera,” katanya.

Mukhtar mengakui, upaya perdagangan burung cenderawasih di Maluku sejauh ini belum pernah ditemukan.

Sebelumnya ditemukan tradisi adat berupa pemberian ofsetan burung cenderawasih kepada pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI di Dobo, Kepulauan Aru.

“Setelah mengetahui ada pemberian ofsetan burung cenderawasih, kami melakukan penyitaan burung tersebut di Bandara Pattimura Ambon,” katanya.

Ia menambahkan, masyarakat yang mengetahui adanya informasi perdagangan satwa liar dan dilindungi, diharapkan untuk segera melaporkan ke petugas BKSDA Maluku.

“Kami sangat berharap adanya informasi dan dukungan masyarakat untuk segera melaporkan ke petugas BKSDA atau melalui call center ke nomor 085244440772,” kata Mukhtar.

 

Sumber : https://ambon.antaranews.com/berita/45908/bksda-maluku-ajak-warga-lindungi-satwa

Jangan Khawatir, Permen 20/2018 Menteri LHK Tidak Berlaku Surut

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Ir. Wiratno, M.Sc, meminta masyarakat tidak perlu khawatir dengan keluarnya Peraturan Menteri (Permen) LHK nomor 20 tahun 2018.

Ia menilai, kekhawatiran masyarakat akhir-akhir ini diakibatkan karena banyaknya penyebaran berita yang tidak benar atau hoax di masyarakat.

Pihaknya berjanji secara terus menerus akan melakukan sosialisasi, edukasi, bahkan hingga pendampingan, sehingga masyarakat akan sama-sama terlibat dalam menjaga kekayaan alam Indonesia.

”Jangan khawatir, Permen 20/2018 Menteri LHK tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi, tidak berlaku surut. Jadi tidak benar yang sedang melihara atau menangkar burung seperti murai batu, pleci, cucak rawa, dll akan dipidana. Itu hoax,” tegas Wiratno melalui rilis pada media, Selasa (7/8/2018).

Melalui Permen 20 tahun 2018, justru pemerintah dalam hal ini KLHK, ingin agar satwa tersebut terjaga kelestariannya. Karena berdasarkan kajian LIPI, jenis-jenis burung tersebut sudah langka habitatnya di alam, meski saat ini banyak ditemukan di penangkaran.

Penetapan hewan dilindungi sebagaimana PP 7 tahun 1999, kriterianya yaitu mempunyai populasi yang kecil, adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, dan daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

”Kajian LIPI ini sudah sejak 2015, jadi sudah lama. Data dari LIPI, dalam kurun waktu tahun 2000 sampai saat ini, terjadi penurunan populasi burung di habitat alamnya lebih dari 50 persen. Itu jumlah yang sangat besar sekali,” kata Wiratno.

Untuk meningkatkan jumlah populasi di habitat aslinya, telah dilakukan berbagai upaya konservasi di habitat atau insitu. Namun apabila tindakan konservasi insitu tidak berhasil, maka dilakukan tindakan konservasi eksitu, yaitu dengan melakukan kegiatan penangkaran yang hasilnya 10 persen harus dikembalikan ke alam (restocking).

”Jadi tidak benar kalau penangkaran burung dilarang. Justru kita ingin mengatur dan menertibkan, agar terdata dengan lebih baik jumlah populasi habitat aslinya di alam,” jelas Wiratno.

”Sehingga pemerintah bersama masyarakat dapat memastikan kembali bahwa alam ada penghuninya, dan penghuninya itu tidak hanya ada di penangkaran,” tambahnya.

Terlebih lagi melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999, turut mengatur mekanisme bagi publik dapat memanfaatkan jenis tumbuhan dan satwa liar termasuk penangkaran dan pemeliharaan untuk kesenangan.

Penangkaran selama ini kata Wiratno, telah banyak membantu pemerintah dalam pelestarian dan penyelamatan hewan dilindungi. Contohnya penangkaran di habitat semi alami Taman Nasional Bali Barat, dan di tujuh kelompok masyarakat yang ikut membantu melestarikan curik Bali, telah menjadi bukti bahwa penangkaran berperan dan berhasil mencegah kepunahan.

”Namun begitu tetap harus ada kewajiban kita menjaga habitatnya di alam. Satwa liar yang hidup di penangkaran atau di kandang, tentu tak akan sama dengan yang benar-benar hidup di alam. Keseimbangan inilah yang harus kita jaga dengan melindunginya. Inilah alasan utama Permen 20 lahir,” ungkap Wiratno.

Tanpa tindakan perlindungan terhadap jenis-jenis burung di alam, dapat dipastikan akan punah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Kepunahan harus dihindarkan karena seluruh spesies di ekosistem alaminya mempunyai peran yang sangat sentral.

Dari berbagai jenis Burung terbaru yang dilindungi, berperan penting sebagai pengendali hama, penyerbukan dan penyebar biji, sehingga perlu dilakukan tindakan perlindungan.

”Jadi masyarakat jangan panik. Justru Permen 20 tahun 2018 ini ingin merangkul masyarakat untuk bersama-sama kita lestarikan kekayaan alam Indonesia, untuk kehidupan kita yang lebih berkualitas. Peraturan ini dibuat dari kita untuk kita juga,” kata Wiratno.

Sudah banyak kata Wiratno, contoh spesies Indonesia yang terancam punah bahkan memang sudah punah. Seperti harimau Bali yang punah sekitar tahun 1960-an atau Harimau Jawa yang dinyatakan punah pada

 

awal tahun 1980-an.

Penyebab utama kepunahan adalah kerusakan habitat dan perdagangan (termasuk perburuan) yang tidak terkendali. Kedua hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia.

”Kita tidak ingin hal yang sama terjadi pada jenis burung-burung ini. Mungkin karena banyak di penangkaran, masyarakat kaget ketika ini disebut langka. Namun faktanya di alam berdasarkan kajian LIPI, jenis-jenis tersebut memang populasinya menurun drastis. Inilah yang coba kita seimbangkan kembali, kita selamatkan bersama,” kata Wiratno.

Melalui Permen LHK 20 tahun 2018, ditetapkan 919 jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi, dimana 562 atau 61 persen diantaranya merupakan jenis burung.

Untuk merespon dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, khususnya dari komunitas pecinta burung berkicau, akan diberlakukan ketentuan peralihan selama masa transisi.

Adapun pengaturan masa transisi meliputi pendataan kepemilikan, penandaan, proses izin penangkaran dan atau izin Lembaga konservasi sesuai dengan peraturan perundangan, yang nantinya akan diatur melalui Peraturan Dirjen KSDAE.

”Kami akan membuka posko-posko di seluruh UPT KSDA di setiap provinsi guna melakukan pendataan pada masyarakat yang telah memanfaatkan jenis burung tersebut di atas,” kata Wiratno.

Masyarakat juga diimbau untuk melaporkan dan mendaftarkan kepemilikan jenis burung tersebut guna proses pendataan dan penandaan oleh Balai Besar/ Balai KSDA setempat.

”Dalam proses pendataan dan penandaan tidak dipungut biaya. Saya tegaskan, bahwa semua prosesnya gratis. Dijamin tidak akan dipersulit, justru kita akan membantu memudahkan, karena kita butuh data valid,” tegas Wiratno.

Diharapkan dengan begitu, seluruh satwa dilindungi benar-benar dapat terjaga kelestariannya untuk dijaga bersama.

Mengenai pendampingan dan pembinaan lebih lanjut dapat ditanyakan ke Direktorat KKH Gedung Manggala Wanabhakti Blok VII Lantai 7 Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta. Masyarakat juga bisa mendapatkan informasi mengenai Permen 20/2018 di BKSDA se Indonesia.

”Kami juga segera menerbitkan Peraturan Dirjen KSDAE tentang penyelenggaraan lomba burung berkicau, dimana proses penyusunannya dengan melibatkan para pihak,” katanya.

”Peraturan ini dibuat dengan tujuan baik, jadi jangan panik. Justru ini demi menjaga keseimbangan antara populasi di alam dengan di penangkaran. Juga untuk menghindari jual beli ilegal. Ini menjadi awal bagi masyarakat mendapatkan legalitas kepemilikan satwa tersebut, karena memilikinya tidak dilarang asalkan sesuai ketentuan yang berlaku. Semuanya demi menjaga Indonesia, dan juga ekosistem penunjang kehidupan kita,” tutup Wiratno.(*)

Sumber : http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/1410

Desa Penyangga BKSDA Maluku Selaraskan Rencana Kerja di PEMDA Kabupaten SBB

Ambon, 31 Mei 2018. Dalam pengelolaan cara baru kawasan konservasi salah satu upaya yang dilakukan adalah memposisikan masyarakat sebagai subyek pengelolaan kawasan. Langkah ini diambil dengan mengembangkan daerah-daerah penyangga di sekitar kawasan konservasi lewat pembentukan kelompok masyarakat sebagai wahana pembelajaran bersama untuk mencapai tujuan kelompok.

Untuk mencapai cita-cita tersebut, pada tanggal 28 Mei 2018, bertempat di ruang rapat kantor Bappeda Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dilaksanakan kegiatan Konsultasi Publik Penyusunan Rencana Kerja Kelompok Masyarakat Desa Penyangga Kawasan Konservasi lingkup Kabupaten SBB.

Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Bappeda Kab. SBB, Seith Selanno, dan dihadiri oleh instansi terkait di Pemerintah Daerah Kab. SBB antara lain Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Koperasi dan UMK, Badan Lingkungan Hidup, Kelompok Pengelolaan Hutan (KPH) SBB, Camat Seram Barat, Camat Huamual, Kepala Desa Ariate. Selain itu turut hadir perwakilan dari 3 kelompok masyarakat yang berada di kabupaten SBB yaitu: KTH Hunipopo (Desa Ariate), KTH Osi Mokussa (Dsn. Osi), KTH Horinusa (Desa Koibobu).

Dalam paparannya Kepala BKSDA Maluku, Amin Ahmadi, mengutarakan pentingnya merangkul kelompok masyarakat sekitar kawasan konservasi dan pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan. Pembinaan desa penyangga juga menjadi wujud kehadiran Pengelola kawasan di tingakt tapak untuk membantu mensejahterkan masyarakat.

Sesuai usulan kelompok dan didasari potensi yang ada di desa, KTH Hunipopo akan mengembangkan usaha kopra dan minyak kelapa. KTH Osi Mokussa akan memanfaatkan ijin jasa wisata dan souvenir/kerajinan rumah tangga karena desa ini merupakan desa penyangga dari TWA Pulau Marsegu. Tidak berbeda, KTH Horinusa juga akan mengembangkan jasa wisata bahari karena potensi desa yang berada di sekitar TWAL Pulau Kasa.

Sumber: BKSDA Maluku

 

 

 

 

 

 

 

Suaka Alam Daab

Status Hukum:Ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 249/Kpts-II/1985 tanggal 11 September 1985
Luas Kawasan:Luas kawasan CA Daab 14.218,00 Ha
Iklim:
Tata Batas:Sudah ditata batas. Realisasi tata batas BL 85,997 km (Sumber : BPKH Wilayah IX Ambon, 4 November 2009)
Jumlah Desa/Penduduk di Dalam dan Sekitar Kawasan:
Kondisi Fisik:Topografi berbukit, dikelilingi oleh hutan bakau dengan rawa yang digenangi air bila air laut pasang.
Potensi Flora dan Fauna:Ekosistem vegetasi pantai, hutan dataran rendah dan hutan musim. Beberapa fauna yang terdapat dikawasan ini adalah : Kakatua manila (Cacatua goffini), Kasturi (Eos bornea,Eos reticulata), Perkicit Hijau (Trichoglosus haematodus), Perkicit Pipi Merah (Charmosyina placentis), Nuri Kei Kecil (Micropsitta gulielmiferti), Biawak (varanus sp), Kakatua Jambul Kuning (Cacatua galerita eleonor), Raja udang (Halcyon soneta), Kadal, Tupai Terbang, Kus-kus (Phalanger spp) dan Ular Piton (Python sp).
Potensi Wisata dan Jasa Lingkungan:Air terjun, pendakian, arung jeram.
Aksesibilitas:Ambon-Tual dengan menggunakan pesawat dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam atau menggunakan kapal laut dengan waktu tempuh sekitar 20-24 jam, kemudian dilanjutkan ke Elat dengan menggunakan perahu motor waktu tempuh sekitar 1-2 jam, dari Elat perjalanan bisa dilanjutkan via laut dengan waktu tempuh 30-45 menit, atau via jalan darat dengan waktu tempuh sekitar 30-45 menit.
Potensi Masalah Kawasan:Perubahan habitat alami menjadi lahan perkebunan, penebangan hutan oleh masyarakat yang mengarah pada terjadinya erosi merupakan tekanan yang dihadapi di kawasan ini
Inventarisasi Potensi Kawasan:Sudah dilaksanakan pada tahun 2009
Rencana Pengelolaan:Belum ada
Kegiatan yang Pernah Dilakukan:Gerhan (2006), Inventarisasi Potensi (2009), Patroli Rutin (2009)
Pos Jaga:Belum ada
Personil Polhut:Belum ada