(Namlea, 07/03/2018). BKSDA Maluku bekerjasama dengan WWF-Indonesia, Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong, dan Dinas Perikanan Kabupaten Buru mengadakan sosialisasi perlindungan Penyu yang bertempat di Waspait Buru Resort, Kecamatan Fena Leisela pada tanggal 6 Maret 2018. Kegiatan yang digagas oleh WWF-Indonesia (Inner Banda Arc Subseascape) berawal dari kegiatan kajian tempat pendaratan dan peneluran penyu Belimbing yang memiliki nama ilmiah Dermochelys coriacea ini, yang mulai dilakukan pada awal tahun 2017. Sepanjang tahun 2017 sampai dengan awal tahun 2018 telah berhasil dicatat kehadiran penyu di tempat ini yang didominasi oleh penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) dan Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), setidaknya tercatat lebih dari 400 lokasi sarang penyu Belimbing selama kurun waktu setahun.
Kegiatan sosialisasi dihadiri oleh berbagai instansi/stakeholders yang memiliki kewenangan dan kepentingan dengan lokasi peneluran penyu di pesisir Utara pulau Buru ini. Antusiasme kegiatan sosialisasi ini ditandai dengan jumlah peserta yang hadir sebanyak 79 orang, yang terdiri dari aparat desa dan perangkat adat beserta perwakilan masyarakat dari Desa Waenibe, desa Wamlana, desa Waekose, dan desa Waspait. Turut hadir juga dalam acara ini Wakil Raja Negeri Fena Leisela, Camat Fena Leisela, Babinsa dari Koramil Air Buaya, dan Babinsa dari Polsek Air Buaya Kabupaten Buru.
Tiga desa yang dianggap penting sebagai tempat pendaratan penyu Belimbing yang ada di pesisir Utara pulau Buru ini adalah : desa Wainibe, desa Waspait, dan desa Wamlana. Ketiga desa ini dianggap penting karena lokasi pantai peneluran penyu Belimbing untuk wilayah Republik Indonesia tidaklah banyak, bahkan dapat dihitung dengan jari, dan pesisir Utara Pulau Buru merupakan salah satu daerah yang terdapat lokasi peneluran penyu jenis ini.
Dalam paparannya, kepala BKSDA Maluku, Mukhtar Amin Ahmadi menyampaikan bahwa peran serta aktif masyarakat sangat dibutuhkan untuk bisa ikut serta dalam program perlindungan penyu yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 5 tahun 1990, “ keterlibatan dan peran serta aktif dari masyarakat ketiga desa ini sangat dibutuhkan ditengah keterbatasan jumlah personil yang ada di BKSDA Maluku” imbuhnya. Penyadartahuan masyarakat terkait status perlindungan dan keterancaman penyu Belimbing merupakan aspek yang sangat ditekankan di sini. Beliau menambahkan pendekatan persuasif lebih diutamakan dalam perlindungan penyu meskipun membutuhkan waktu yang panjang dan dialog yang berkesinambungan antara aparat pemerintah yang berwenang dengan masyarakat.
Selain paparan dari kepala BKSDA Maluku, kegiatan sosialisasi ini juga menghadirkan narasumber dari LPSPL Sorong : Wiwit Handayani, S.Pi, dan Drh. Dwi Suprapti (Marine Spesices Conservation Coordinator, WWF-Indonesia) yang membahas penyu khususnya untuk jenis penyu belimbing dari aspek ekologi dan fisiologi, juga terkait kondisi terkini penyu Belimbing.
Berdasarkan paparan materi yang disampaikan oleh Drh. Dwi Suprapti, WWF-Indonesia bekerjasama dengan NOAA (Lembaga Penelitian Pemerintah Amerika Serikat) rencananya akan memasang sebanyak 7 unit Satelit Telemetri terhadap penyu Belimbing yang mendarat di pantai peneluran di Utara pulau Buru untuk bisa mempelajari perilaku penyu jenis ini lebih mendalam demi kepentingan pelestariannya. “ Selain itu, pihak WWF-Indonesia bekerjasama dengan NOAA dan BKSDA Maluku juga akan melakukan pengambilan sampel DNA penyu belimbing dengan target sebanyak 100 individu yang akan dilakukan secara marathon sampai dengan awal tahun 2019”, tambah wanita yang berasal dari Kalimantan Barat ini. Kajian yang dilakukan oleh WWF-Indonesia sepanjang tahun 2017 ini mengungkapkan bahwa Penyu Belimbing menyukai pesisir Utara pulau Buru ini (yang mencakup 3 desa : Wamlana, Waspait, dan Waenibe) sebagai tempat bertelur. Hanya saja tingkat keberhasilan sarang penyu sampai dengan menetas hanya sebesar 20%. Beberapa hal yang menjadi faktor utama penyebab kecilnya tingkat keberhasilan sarang sampai dengan telur penyu menetas adalah : kegiatan pengambilan telur oleh masyarakat, serta adanya predator alami seperti buaya muara, babi hutan, dan anjing. Oleh karenanya, Sosialisasi perlindungan penyu yang dilakukan oleh BKSDA Maluku bekerjasama dengan WWF-Indonesia dan LPSPL Sorong, Kementerian Kelautan dan Perikanan dianggap sangat perlu untuk dilakukan agar dapat mensukseskan keberhasilan program perlindungan penyu yang melibatkan partisipasi aktif oleh masyarakat di sekitar pantai peneluran.
Berdasarkan hasil focus group discussion (FGD) yang dilakukan pada bagian akhir sosialisasi, dirumuskan sebanyak 10 rencana aksi yang jika dirangkum merupakan rencana aksi yang harus dilakukan untuk perlindungan penyu secara umum, mulai dari mendorong penerbitan peraturan desa dan peraturan daerah (Perda), pembentukan kelompok masyarakat pengawas penyu, relokasi sarang penyu agar tidak dirusak oleh predator, sampai dengan penegakan hukum oleh instansi berwenang agar muncul kesadaran masyarakat sadar akan pentingnya keberadaan penyu.
Penyu merupakan salah satu satwa dari beberapa jenis satwa zaman purba yang masih tersisa saat ini di muka bumi. Penyu Belimbing adalah salah satu dari 6 jenis penyu yang terdapat di Indonesia dan dilindungi oleh Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (terdapat hanya 7 jenis penyu yang ada di dunia). Penyu jenis ini merupakan penyu dengan ukuran terbesar dibandingkan dengan kerabatnya yang lain. Berdasarkan data yang dihimpun oleh pihak WWF-Indonesia, pesisir Utara pulau Buru merupakan salah satu pantai favorit di provinsi Maluku yang banyak disinggahi oleh jenis Penyu Belimbing untuk bertelur, dan menariknya penyu yang bertelur disini mencari makan sampai ke daerah kepala burung Papua, bahkan berdasarkan data satelit telemetri penyu yang mendarat untuk bertelur di pulau Buru ini mencari makan sampai ke daerah pesisir Hawai, Amerika Serikat.
Mengacu pada peraturan pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan tumbuhan dan satwa yang merupakan turunan dari undang-undang No. 5 tahun 1990, 6 jenis penyu yang ada di Indonesia termasuk dalam status dilindungi undang-undang. Sedangkan berdasarkan perjanjian internasional tentang perdagangan tumbuhan dan satwa yang terancam punah atau yang lebih dikenal dengan CITES , semua jenis penyu yang ada di Indonesia termasuk dalam appendix 1 CITES, yang bermakna bahwa segala bentuk perdagangan di dunia internasional untuk jenis penyu dan bagian tubuhnya atau produk turunannya seperti telur penyu secara tegas dilarang. Sebagai tambahan, penyu Belimbing juga termasuk dalam daftar merah/Red List lembaga konservasi internasional (IUCN) dengan status Vulnerable (Rawan untuk terancam punah) setelah sebelumnya pernah mengalami penurunan populasi yang cukup drastis.
-Admin-